Asal Usul Pulau Belitung
Penulis: BULE
SAHIB
ALKISAH, pada zaman dahulu, di Pulau Bali
memerintahlah seorang raja yang adil dan bijaksana. Karena
bijaksana dan adilnya, sang Raja sangat disegani dan disayangi rakyatnya.
Dikisahkan sang Raja ini mempunyai seorang putri yang cantik jelita.
Kecantikannya terkenal hingga ke berbagai pelosok. Hingga setelah menginjak
dewasa, banyak pemuda daerah lain hendak melamarnya untuk dijadikan istri.
Suatu hari di antara para pemuda yang
datang melamar itu terdapatlah seorang putra mahkota. Namun apa hendak dikata,
lamaran itu ditolak putri sang Putri, sehingga Baginda merasa heran. Begitulah
yang terjadi hingga lamaran tujuh putra mahkota kerajaan lain selalu ditolak
sang putri.
“Mengapa putriku selalu menolak setiap lamaran yang datang?”
begitu tanya baginda dalam hati. Baginda raja merasa heran dengan kelakuan
putrinya itu. Ia juga malu kepada raja-raja sekitarnya serta khawatir
kalau-kalau ada sesuatu yang disembunyikan putrinya.
Karena penolakan tersebut selalu terjadi berulang-ulang, baginda
pun bermusyawarah dengan permaisuri. Mencari tahu apa yang membuat sang putri
menolak setiap lamaran pemuda yang ingin menjadikannya sebagai istri. Akhirnya,
sepakatlah mereka berdua untuk memanggil sang putri dan menanyakan langsung
kepadanya.
Pada satu saat permasuri pun memiliki kesempatan yang tepat untuk
memanggil putrinya dan menanyakan latar belakang tingkah lakunya. “Anakku yang
cantik, mengapa selama ini ananda selalu menolak lamaran yang datang?” tanya
sang permaisuri.
Ditanya demikian sang putri sempat terdiam sesaat. Akhirnya dengan
berat hati, sedih bercampur malu sang putri pun menerangkan sikapnya. ”Bukanlah
ananda tidak mau menerima lamaran itu. Tapi, merasa
malu dengan penyakit yang sedang ananda derita ini,” jawab sang Putri.
“Penyakit apakah yang sedang Ananda derita?” tanya sang Permaisuri lagi.
Ditanya demikian sang putri
kembali terdiam. Dia tak berani menatap ibunya. Sang Permaisuri pun segera
mendekati sang Putri dan memeluk putri kesayangannya itu. Dalam pelukan
permaisuri, sambil terisak, sang Putri pun menceritakan ihwal penyakit yang
sedang ia derita. Ia menderita penyakit kelamin.
Mendengar jawaban itu, permaisuri
pun mengerti dan merasa sedih dengan nasib putrinya itu dan menyampaikannya
kepada baginda. Mendengar berita itu baginda sangat bingung. Ia tak tahu harus
berbuat apa. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk membuat sayembara.
Dipanggilnya hulubalang istana.
“Hai hulubalang, buatlah sebuah
pengumuman ke seluruh negeri ini. Barang siapa dapat menyembuhkan sang putri,
sebagai hadiah akan dinikahkan dengan putriku,” perintah baginda.
Disebarkanlah pengumuman itu ke
seluruh negeri. Banyak orang yang datang untuk mencoba menyembuhkan sang putri.
Namun, setelah berbagai ikhtiar dilakukan, tak satu pun yang berhasil. Putuslah
harapan baginda terhadap kesembuhan putrinya. Karena tak berhasil, baginda pun
memilih menempuh jalan lain. Mengasingkan sang putri ke sebuah semenanjung, di
sebelah utara Pulau Bali.
Setelah segala sesuatu
disiapkan, diantar baginda dan permaisuri beserta pembantu-pembantu istana yang
telah ditentukan, sang putri berangkat ke tempat pengasingannya. Sesampai di
tempat yang dituju, di tengah hutan, sang putri ditinggal sendiri.
Kemudian, setelah memohon
kepada dewata bagi perlindungan anaknya, dengan sedih baginda pun meninggalkan
tempat tersebut.
Sebetulnya di hutan itu
sang putri tak sendiri. Ia ditemani seekor anjing, bernama Tumang. Sesekali
waktu datang beberapa orang pembantu istana datang melihat keadaannya sambil
membawakan segala keperluan hidup.
Suatu hari, ketika sang
putri sedang buang air kecil, dilihat oleh Tumang, anjing peliharaannya itu.
Lalu, Tumang pun menjilati air kencing sang putri, juga sisa-sisa air kencing
yang melekat di kemaluan sang putri. Sang putri pun membiarkannya. Kejadian
seperti itu berlangsung hampir setiap kali sang putri kencing dan cukup lama.
Satu keanehan terjadi. Penyakit yang diderita sang putri berangsur sembuh.
Sudah menjadi hukum alam bahwa, manusia adalah makhluk yang lemah. Begitu
juga dengan sang putri. Sebagai seorang gadis remaja, ia juga mendambakan
kehangatan kasih mesra seorang kekasih. Karena tanpa pengawasan, ditambah lagi
asmara yang sedang menggelora, maka perbuatan dengan anjingnya itu berubah
sebagai pelampiasan nafsunya yang sedang menggelora. Hari berganti pekan, pekan
berganti bulan, kebiasaan sang putri berujung menjadi hubungan kelamin antara
kedua makhluk berlainan jenis dan keturunan itu, hingga akhirnya sang putri pun
mengandung.
Ketika rombongan dari istana datang meninjau, kelihatanlah bahwa keadaan
putri telah berubah dari biasanya. Melihat keadaan itu, pemimpin rombongan
menanyakan kejadian sebenarnya yang dialami sang putri. Setelah didesak, sang
putri pun berterus terang dan menceritakan apa yang telah dilakukannya dengan
si Tumang.
Begitu kembali ke istana, kabar buruk itu pun langsung disampaikan pemimpin
rombongan kepada baginda dan permaisuri. Begitu mendengar kabar tersebut, bukan
main murkanya baginda. Ingin rasanya ia segera menyudahi putrinya itu.
Setelah beberapa hari berfikir, baginda mendapat cara untuk menyelesaikan
persoalan yang menimpa putrinya tersebut. Pada suatu malam, baginda mensucikan
diri dan memohon kepada dewata agar putrinya dihukum dengan jalan menghancurkan
tempat yang dihuni putrinya berhubung tempat tersebut telah menjadi kotor,
sehingga akan mencemarkan nama baik baginda.
Dengan kehendak dewata, beberapa hari kemudian turun hujan sangat deras
disertai angin ribut yang sangat besar. Sekejap kemudian putuslah bagian
semenanjung utara Pulau Bali yang ditempati sang putri diasingkan, lalu hanyut
terapung-apung dibawa gelombang ke utara.
***
ADALAH Datu’ Malim Angin dan Datu’ Langgar Tuban, yang sedang memancing
ikan menggunakan perahu sampan. Tengah asyik memancing, mereka berdua
dikejutkan pemandangan aneh. Tak jauh dari tempat mereka memancing nampak
sebuah pulau hanyut melintas terbawa arus laut.
Dalam
keheranan, Datu’ Malim Angin segera mengayuh sampannya dan mengejar pulau
hanyut tersebut. Begitu berhasil mencapai salah satu bagian pulau tersebut,
Datu’ Malim Angin segera naik ke daratan dan mengikatkan tali sauh pada
potongan sebatang pohon (konon kabarnya pohon mali berduri, red.).
Setelah
mengikatkan tali sauh di potongan pohon tersebut, Datu’ Malim Angin segera
menancapkannya pada sebuah gunung dan melemparkan jangkarnya ke laut. Seketika
pulau hanyut itu pun berhenti. Namun, karena baru terikat pada satu tiang,
pulau itu terus berputar.
Melihat
pulau tersebut masih terus berputar-putar, Datu’ Malim Angin pun berlari ke
arah berlawan dari kayu pertama tadi. Pada sebuah gunung Datu’ Malim Angin
berhenti dan mematahkan sebatang pohon baru’ (pohon waru, red.), lalu
menancapkannya pada puncak gunung dimana ia tadi berhenti. Setelah itu barulah
pulau hanyut tersebut berhenti berputar.
Secara
turun temurun cerita pulau Bali yang Terpotong ini berkembang secara lisan di
masyarakat. Lama kelamaan penyebutannya berubah menjadi Belitong.
Konon,
gunung tempat pertama Datu’ Malim Angin menambatkan tali sauhnya dikenal dengan
Gunung Baginde, terletak di Kampung Padang Kandis, Membalong. Gunung ini, oleh
mereka yang percaya, dikenal sebagai pancang Selatan Pulau Belitung. Dan, juga
menurut mereka yang percaya, sampai sekarang Datu’ Malim Angin masih ‘mendiami’
/ menguasai gunung tersebut. Sedang gunung kedua, adalah Gunung Burung Mandi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
"orang yang baik selalu mengucap salam bila berkunjung"