Kembang api


Selasa, 25 Juni 2019

CERITA RAKYAT BELITUNG "SI KELINGKING"





Alkisah, di sebuah desa  di pulau Belitung, hiduplah sepasang suami-istri yang miskin. Walaupun miskin, mereka tetap rukun dan bahagia. Namun, kebahagiaan itu terasa belum lengkap karena mereka belum mempunyai anak. Untuk itu, setiap malam pasangan tersebut sentiasa berdoa kepada Tuhan agar dikaruniai seorang anak.

“Ya, Tuhan! Karuniakanlah kami seorang anak, walaupun sebesar kelingking!”.

Rupanya doa mereka dikabulkan oleh Tuhan Yang Mahakuasa. Tidak beberapa lama kemudian sang istri hamil. Sepasang suami-istri sangat senang karena tidak lama lagi akan mendapatkan seorang anak yang selama ini mereka idamkan.

Beberapa bulan kemudian, sang istri pun melahirkan. Namun, mereka sangat terkejut ketika melihat bayi yang keluar dari rahim sang istri hanya sebesar kelingking.

”Bang ! kenapa anak kita kecil sekali, Bang ?”

Mendengar pertanyaan sang istri, sang suami hanya diam. Ia seakan-akan tak percaya apa yang sedang mereka alami. Akhirnya, sang suamiteringat akan doa yang sering mereka ucapkan.

“Dik, ingatkah doa kita selama ini? Bukankah kita selalu berdoa agar diberikan anak walaupun hanya sebesar kelingking?”Tanya sang suami mengingatkan istrinya.

“Ooo, iya. Rupanya Tuhan mengabulkan doa kita sesuai dengan permintaan kita,” kata sang istri.

Bayi itu pun mereka rawat dengan sebaik-baiknya. Waktu terus berjalan hingga anak itu berusia enam tahun. Namun badan anak itu tetap sebesar kelingking oleh karena itumereka memberinya nama Si Kelingking.

Mulanya sepasang suami-istri itu sayang Si Kelingking. Tetapi karena ada suatu hal yang membuat mereka risau, yakni walaupun badannya kecil Si Kelingking banyak sekali makannya. Sekali makan, ia dapat menghabiskan secanting nasi, bahkan terkadang masih kurang. Setiap hari suami-istri itu selalu bingung karena penghasilan yang mereka peroleh hanya cukup untuk dimakan oleh Si Kelingking, kedua suami-istri tersebut bersepakat hendak hendak menyingkirkannya dari kehidupan mereka.

“Bang, bagaimana caranya kita menyingkirkan Si Kelingking?” tanya sang istri bingung.

“Abang punya cara,”jawab sang suami.

“Apa itu, bang?” tanya istri penasaran.

“Besok pagi, aku akan mengajaknya ke hutan,”jawab sang suami.

“Ke hutan? Untuk apa, Bang?”tanya sang istri.

“Aku akan membuangnya di tengah hutan,”jawab sang suami.

Sang istri pun setuju. Keesokan harinya, sang ayah mengajak Si Kelingking ke tengah hutan untuk mencari kayu. Setibanya disana, sang ayah segera menebang pohon besar.

“Kelingking! Kamu berdiri di situ saja! Ayah akan menebang pohon ini!” seru ayahnya.

“ Baik, Ayah!” jawab Si Kelingking menuruti perintah ayahnya.

Namun, tanpa disadari oleh Si Kelingking, ayahnya menebang pohon itu diarahkan kepadanya. Sang ayah sengaja melakukannya agar pohon itu menimpanya. Beberap saat kemudian, pohon besar itupun roboh menimpa Si Kelingking. Melihat hal itu, sang ayah bukannya sedih, melainkan gembira.

“ Matilah kau kerdil! Ha….ha….ha !” seru sang ayah sambil tertawa terbahak-bahak.

Setelah memastikan dan yakin anaknya mati, sang ayah segera kembali ke rumahnya untuk menceritakan kejadian itu kepada sang istri. Mendengar cerita suaminya, sang istri pun menjadi senang.

“Bang, mulai hari ini hidup kita akan menjadi tenang,”kata sang istri kepada sang suaminya.

Namun, menjelang siang hari, tiba-tiba terdengar suar teriakan dari luar rumah.

“Ayah…ayah..! Diletakkan dimana kayu ini?”

“Bang! Sepertinya itu suara Kelingking. Bukankah anak itu sudah mati ?” tanya sang istri heran.

“Ayo kita keluar melihatnya!” seru suami penasaran.

Kedua suami-istri sangat terkejut saat melihat Kelingking sedang memikul sebuah pohon besar di pundaknya.

“Ayah! Letakkan dimana kayu ini “ tanya si Kelingking.

“ Letakkan disitu saja!” perintah ayahnya.

Setelah meletakkan kayu itu Kelingking langsung masuk ke dalam rumah untuk mencari makanan. Oleh karena merasa kelaparan usai memikul pohon besar, ia pun menghabiskan secanting nasi yang sudah dimasak ibunya. Sementara ayah dan ibunya hnaya duduk bengong melihat anaknya, dan tidak tahu apa yang harus mereka perbuat.

Sejak Kelingking kembali kerumah, kehidupan mereka semakin susah. Semakin hari Si Kelingking semakin banyak makannya. Tidak hanya cukup cukup makan secanting nasi. Melihat keadaan itu suami-istri itu kembali berunding untuk mencari cara menyingkirkan Kelingking dari kehidupan mereka.

“ Bang! Apa lagi yang harus kita perbuat ?” tanya sang istri bingung.

“ Besok abang akan mengajaknya pergi ke gunung untuk mengambil batu,” jawab sang suami.

“ Tenang, Dik! Rencanaku ini pasti akan berhasil,” tamabah sang suami sambil tersenyum.

Keesokan harinya, sang ayah mengajak si Kelingking ke gunung untuk mengambil batu. Sesamoainya di kaki gunung, sang ayah berhenti.

“ Kelingking! Ayah akan naik ke atas gunung hendak mendongkel batu-batu itu. Kamu tunggu di sini saja sambil menghadang dan mengumpulkan batu-batu itu,” perintah sang ayah.

“ Baik, ayah” jawab Kelingking.

Setelah itu, sang ayah mendaki gunung itu sambil membawa sebatang kayu untuk digunakan mendongkel batu. Pada awalnya, ia hanya mendongkel batu-batu kecil, lalu batu yang agak besar, dan kemudian batu yang lebih besar. Pada saat mendongkel batu yang besar, ia sengaja mengarahkannya kepada si Kelingking. Batu itu pun menindih Si Kelingking. Melihat hal itu, sang ayah segera turun dari gunung dan menghampiri si Kelingking yang tertindih batu.

“ Kelingking…kelingking..kelingking !” seru sang ayah memanggil anaknya.

Beberapa kali ia memanggil anaknya, namun tidak mendapatkan jawaban. Ia yakin bahwa si Kelingking telah mati. Dengan perasaan gembira, ia segera kembali kerumahnya dan menceritakan hal tersebut kepada istrinya. Namun, sanh istri tidak langsung percaya dengan cerita tersebut.

“ Apakah abang yakin jika anak itu benar-benar sudah mati?” tanya sang istri dengan perasaan ragu-ragu.

“ Iya, Dik! Abang berhasil menindihnya dengan batu besar,” jawab sang suami.

Namun, ketika menjelang sore, tanpa mereka duga sebelumnya, tiba-tiba terdengar lagi suaradari luar rumah.

“ Ayah…ayah..! Di letakkan dimana batu ini?” tanya suara itu.

“ Letakkan disitu !” jawab Ayah Kelingking tanpa sadar.

Suami-istri itu tersentak kaget saat keluar rumah. Mereka melihat si Kelingking sedang meletakkan sebuah batu besar. Setelah itu, seperti biasanya si Kelingking langsung masuk ke rumah untuk mencari makanan karena kelaparan.

Akhirnya kedua suami-istri tersebut merasa kasihan kepada anak mereka. Mereka pun menyadari bahwa walau bagaimanapun si Kelingking lahir karena permintaan mereka sendiri. Sejak saat itu, mereka tidak pernah lagi berniat untuk membunuhnya. Mereka telah menerima kembali si Kelingking sebagai anggota keluarga. Sementara si Kelingking yang memiliki kekuatan lebih dari orang-orang biasa semakin rajin membantu ayahnya bekerja. Bahakan, semua pekerjaan yang berat-berat dia yang melakukannya. Sehingga pekerjaan ayahnya jadi semakin ringan dan kebutuhan hidup mereka dapat terpenuhi.

Penutup

Demikian cerita si Kelingking dari provinsi Bangka Belitung, Indonesia. Cerita ini termasuk ke dalam kategori dongeng yang mengandung pesan-pesan moral. Setidaknya ada dua pesan moral yang disampaikan dalam cerita ini, pertama kit harus menjauhi sifat suka memandang rendah orang lain sifat ini digambarkan oleh perilaku ayah dan ibu si Kelingking mereka hanya melihat bentuk fisik dan kerakusan anak mereka, sehingga mereka berniat untuk membunuhnya. Namun, di luar dugaan mereka meskipun badannya kecil, ternyata si Kelingking memiliki kekuatan yang luar biasa yang tidak dimiliki oleh orang lain. Menyadari hal itu ayah dan ibu kelingking menjadi sayang terhadap Kelingking. Disini dapat diambil hikmah bahwa kita tidak seharusnya membenci orang secara berlebihan karena bisa jadi dari rasa benci tersebut kita menjadi sayang.

Kedua, ajal manusia itu di tangan Tuhan. Hal ini di tunjukkan pada saat Ayah dan Ibu Kelingking berusaha dengan berbagai macam cara untuk membunuh si Kelingking namun usaha mereka sia-sia. Dari sini dapat dipetik sebuah pelajaran, bahwa hidup dan mati seseorang hanya berada di tangan Tuhan. Tuhan yang mementukan. Bagaimana pun kerasnya usaha seseorang untuk menghilangkan nyawa orang lain, jika Tuhan belum berkehindak, maka seseorang tidak akan mati.









Sumber:

Isi cerita diadaptasi dari Salim Y.A.H dan H. Suwardi. 1996. Cerita Rakyat dari Belitung. Jakarta: Grasindo.



Effendy, Tenas. 2006. Tunjuk Ajar Melayu. Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengembanga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"orang yang baik selalu mengucap salam bila berkunjung"