Alkisah, pada
zaman dahulu kala, di sebuah daerah di Pulau Bangka, hiduplah seorang pemuda
yang sangat mahir menyumpit binatang buruan. Sumpitannya selalu mengenai
sasaran. Oleh karenanya, masyarakat memanggilnya si Penyumpit. Selain mahir menyumpit,
ia juga pandai mengobati berbagai macam penyakit. Bakat menyumpit dan mengobati
tersebut ia peroleh dari ayahnya.
Pada suatu
hari, Pak Raje, Kepala Desa di kampung itu, meminta si Penyumpit untuk mengusir
kawanan babi hutan yang telah merusak tanaman padinya yang sedang berbuah,
dengan dalih bahwa orang tua si Penyumpit sewaktu masih hidup pernah berhutang
kepadanya. Demi membayar hutang orang tuanya, si Penyumpit rela bekerja pada
Pak Raje.
Keesokan
harinya, berangkatlah si Penyumpit ke ladang Pak Raje untuk melaksanakan tugas.
Sesampainya di ladang, ia membakar kemenyan untuk memohon kepada dewa-dewa dan
mentemau (dewa babi), agar kawanan babi tersebut tidak merusak tanaman padi Pak
Raje. Si Penyumpit kemudian melakukan ronda dengan memantau seluruh sudut
ladang hingga larut malam. Sudah tiga malam si Penyumpit meronda, namun belum
terlihat tanda-tanda yang mencurigakan. Meskipun situasi aman, si Penyumpit
terus berjaga-jaga.
Ketika
memasuki malam ketujuh, dari kejauhan tampak oleh si Penyumpit tujuh kawanan
babi hutan sedang beriring-iringan hendak memasuki ladang. Satu per satu babi
hutan itu melompati pagar batu yang telah dibuat Pak Raje. Mengetahui hal itu,
si Penyumpit segera bersembunyi di balik sebuah pohon besar dengan sumpit di
tangan yang siap untuk digunakan. Ketika kawanan babi tersebut mulai
mengobrak-abrik tanaman padi yang tak jauh dari pohon tempat ia bersembunyi,
dengan hati-hati pemuda itu mengangkat sumpitnya, lalu disumpitkannya ke arah
babi yang paling dekat dengannya. Sumpitannya tepat mengenahi sisi sebelah kiri
perut babi itu. Sesaat kemudian, kawanan babi itu tiba-tiba menghilang bersama
dengan anak sumpitnya. Melihat peristiwa aneh itu, si Penyumpit menjadi
penasaran.
Keesokan
harinya, si Penyumpit menyusuri ceceran darah hingga ke tengah hutan. Sesampainya di tengah hutan, ia menemukan
sebuah gua yang di sekelilingnya ditumbuhi semak-belukar. Dengan hati-hati,
pemuda itu memasuki gua tersebut. Sesampainya di dalam, ia sangat terkejut,
karena melihat seorang putri yang tergeletak di atas pembaringan yang
dikelilingi oleh wanita-wanita cantik. Salah seorang dari wanita tersebut
adalah ibu sang Putri.
“Hai, anak muda! Engkau siapa?” tanya ibu sang putri.
“Saya si Penyumpit,” jawab si pemuda dengan ramah.
“Ada perlu apa Engkau ke sini?” tanya ibu sang putri
dengan nada menyelidik.
“Saya sedang mencari anak sumpit saya yang hilang
bersama dengan seekor babi hutan,”
jawabnya.
“Benda yang engkau cari itu ada pada putriku,” kata
ibu sang putri.
“Bagaimana bisa anak sumpit saya ada pada putri Bibi?”
tanya si Penyumpit heran.
“Ketahuilah, anak muda! Babi yang engkau sumpit itu
adalah penjelmaan putriku,’ jelas ibu sang
putri.
Si Penyumpit sangat kaget mendengar penjelasan ibu
sang putri.
“Jadi…, kalian adalah babi jadi-jadian?” tanya si
Penyumpit dengan heran.
“Benar, anak muda,” jawab ibu sang putri.
“Kalau begitu, saya minta maaf, karena tidak
mengetahui hal itu,” kata si Penyumpit dengan rasa
menyesal.
“Sudahlah,
anak muda. Lupakan saja semua kejadian itu. Yang penting sekarang adalah
bagaimana melepaskan benda ini dari perut putriku,” kata ibu sang putri.
“Baiklah.
Saya akan melepaskan anak sumpit itu dan mengobati luka putri bibi. Tolong saya
dicarikan beberapa helai daun keremunting[1] dan tumbuklah hingga halus,” pinta
si Penyumpit.
Untuk
memenuhi permintaan itu, ibu sang putri segera memerintahkan beberapa dayangnya
untuk mencari daun keremunting yang banyak terdapat di sekitar mereka. Tak
berapa lama, dayang-dayang tersebut sudah kembali dengan membawa daun yang dimaksud.
Setelah yang diperlukan disiapkan, si Penyumpit mendekati gadis cantik yang
sedang terbaring lemas itu, lalu membuka selimut yang menutupi tubuhnya.
Tampaklah
sebuah benda runcing yang menancap di perut sang putri, yang tidak lain adalah
mata sumpit miliknya. Sambil mulutnya komat-kamit membaca mantra, si Penyumpit
mencabut mata sumpit itu dengan pelan-pelan. Setelah mata sumpit terlepas,
bekas luka tersebut kemudian ditutupinya dengan daun keremunting yang sudah
dihaluskan untuk menahan cucuran darah yang keluar.
Beberapa saat
kemudian, luka sang putri sembuh dan tidak meninggalkan bekas luka sedikit pun.
“Sekarang
putri Bibi sudah sembuh. Izinkanlah saya mohon diri,” pamit pemuda itu dengan
sopan.
“Baiklah,
anak muda! Ini ada oleh-oleh sebagai ucapan terima kasih kami, karena engkau
telah menyembuhkan putriku. Bungkusan ini berisi kunyit, buah nyatoh,[2] daun
simpur,[3] dan buah jering.[4] Tapi, bungkusan ini jangan dibuka sebelum engkau
sampai di rumah,” pesan ibu sang putri.
“Baik, Bi!”
jawab pemuda itu, lalu pergi meninggalkan gua.
Setibanya di
rumah, si Penyumpit segera membuka bungkusan tersebut. Alangkah terkejutnya ia,
karena isi bungkusan itu tidak seperti yang disebutkan ibu sang putri.
Bungkusan itu ternyata berisi perhiasan berupa emas, berlian, dan intan
permata.
“Waw…,
berharga sekali benda ini!” tanya si Penyumpit dengan rasa kagum.
“Dengan benda
ini, aku akan menjadi kaya-raya,” gumamnya dengan perasaan gembira.
Keesokan
harinya, si Penyumpit pergi menjual seluruh benda berharga itu kepada seorang
saudagar kaya di kampung itu. Hasil penjualannya ia gunakan untuk membeli
ladang yang luas, rumah mewah, dan melunasi seluruh hutang ayahnya kepada Pak
Raje.
Sejak itu,
tersiarlah kabar bahwa si Penyumpit telah menjadi kaya-raya. Berita itu juga
didengar oleh Pak Raje. Ia pun berniat untuk mengikuti jejak si Penyumpit.
Suatu hari, Pak Raje meminjam sumpit pemuda itu dan kemudian pergi berburu babi
hutan di ladang miliknya. Dalam perburuannya, ia berhasil menyumpit seekor
babi. Setelah itu ia mengikuti jejak dan menemukan babi hutan itu, yang
ternyata penjelmaan sang putri. Pak Raje berusaha menyembuhkan luka yang
diderita oleh sang Putri, namun tidak berhasil karena ia tidak memiliki
keahlian mengobati penyakit. Akhirnya, ia diserang berpuluh-puluh babi hutan.
Dengan tubuh yang penuh luka-luka, ia berjalan sempoyongan pulang ke rumahnya.
Sesampainya di rumah, Pak Raje langsung tergeletak tidak sadarkan diri, karena
tidak tahan lagi menahan rasa sakit.
Putri sulung
Pak Raje segera menyampaikan nasib malang yang menimpa ayahnya itu kepada si
Penyumpit. Mendengar kabar itu, si Penyumpit segera ke rumah Pak Raje untuk
menolongnya. Si Penyumpit kemudian mengobati Pak Raje dengan 7 helai daun.
Setelah itu ia membakar kemenyan, lalu menyebut satu per satu anggota tubuh Pak
Raje, seperti tangan, kaki, kepala, dan lain-lain. Terakhir, ia menyebut nama
Pak Raje. Ketika asap kemenyan itu mengepul, di Penyumpit kemudian membaca
mantera. Tak lama kemudian, tampak jari tangan Pak Raje bergerak-gerak. Dengan
pelan-pelan ia mengusap-usap matanya hingga tiga kali. Akhirnya, Pak Raje
sadarkan diri dan sembuh dari penyakitnya.
Setelah itu
Pak Raje insaf (sadar) dan mengakui semua kesalahannya kepada si Penyumpit.
“Terima
kasih, Penyumpit! Kamu telah menyembuhkan penyakitku. Aku minta maaf karena
telah memaksamu menjaga ladangku. Untuk menebus kesalahanku ini, aku akan
menikahkanmu dengan putri bungsuku. Setelah itu, aku akan mengangkatmu menjadi
Kepala Desa untuk menggantikanku. Bersediakah kamu menerima tawaranku ini,
wahai Penyumpit?” tanya Pak Raje.
“Terima kasih, Pak Raje! Dengan senang hati, saya bersedia,” jawab si
Penyumpit.
“Baiklah kalau begitu. Berita gembira ini akan segera aku sampaikan
kepada seluruh warga kampung ini,” kata Pak Raje.
Satu minggu kemudian, pernikahan si Penyumpit dengan putri bungsu Pak
Raje dilangsungkan dengan meriah. Berbagai macam seni pertunjukan ditampilkan
dalam acara tersebut. Pak Raje bersama keluarganya beserta seluruh warga desa
turut bergembira atas pernikahan itu. Di akhir acara, Pak Raje menyerahkan
jabatannya sebagai Kepala Desa kepada menantunya yang baik hati itu. Sepasang
insan yang baru menjadi suami-istri itu hidup berbahagia. Warganya pun hidup
tentram dan damai di bawah perintah Kepala Desa yang baru, si Penyumpit.
Demikian cerita rakyat Si Penyumpit dari Pulau Bangka, Kepulauan
Bangka-Belitung. Cerita di atas mengandung pesan-pesan moral yang dapat
dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Sedikitnya ada dua pesan
moral yang dapat dipetik dari cerita di atas, yaitu sifat suka menolong dan
pandai membalas budi.
Pertama, sifat suka menolong. Sifat ini tercermin pada perilaku si
Penyumpit yang telah menyembuhkan penyakit sang Putri dan Pak Raje. Sifat ini
termasuk sifat yang terpuji dan sangat diutamakan dalam kehidupan orang Melayu,
sebagaimana dikatakan dalam untaian syair berikut ini:
wahai ananda
dengarlah manat,
tulus dan
ikhlas jadikan azimat
berkorban
menolong sesama umat
semoga
hidupmu beroleh rahmat
Kedua, sifat
pandai berbalas budi. Sifat ini tercermin pada sikap ibu sang Putri yang telah
memberikan hadiah kepada si Penyumpit berupa perhiasan emas, intan dan berlian,
karena telah menyembuhkan penyakit putrinya. Demikian pula, Pak Raje yang telah
menikahkan putri bungsunya dengan si Penyumpit, karena telah menyembuhkan
penyakitnya. Sifat ini termasuk sifat yang terpuji dan sangat diutamakan dalam
kehidupan orang Melayu, sebagaimana dikatakan dalam ungkapan berikut ini:
apa tanda
melayu pilihan, membalas budi ia utamakan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
"orang yang baik selalu mengucap salam bila berkunjung"